VIVAnews - Presiden Amerika Serikat, Barack Obama,
menyatakan revolusi di Mesir 11 Februari lalu mirip dengan situasi di
Indonesia pada Mei 1998. Sejumlah media massa internasional pun melihat
kesamaan tumbangnya rezim Hosni
Mubarak dan mendiang Soeharto 13 tahun
lalu.
Baik Soeharto dan Mubarak sama-sama sukses meniti karir di
militer sebelum akhirnya memerintah di negara masing selama tiga
dekade, Soeharto 32 tahun sedangkan Mubarak 30 tahun. Kedua pemimpin
juga memerintah negara yang mayoritasnya adalah umat Islam, namun negara
mereka tetap moderat.
Kolumnis stasiun berita
BBC,
Jonathan Head, mencatat bahwa kedua mantan pemimpin itu, selama berkuasa
menerima dukungan besar dari Amerika Serikat (AS) dan negara-negara
Barat lainnya dan tidak segan menumpas kekuatan komunis maupun gerakan
Islam yang ekstrem. Indonesia era Soeharto dan Mesir di bawah Mubarak
dipandang Barat bisa menciptakan stabilitas kawasan dari dua ancaman
itu.
Namun, kedua pemimpin itu punya kelemahan yang sama. Rezim
mereka digerogoti penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme yang parah dan
bertindak sewenang-wenang.
Seperti Mubarak dengan Partai
Nasional Demokrat, Soeharto berhasil membuat Partai Golkar saat ini
menjadi mesin politik utama yang melanggengkan kekuasaannya. Pemilu di
Mesir era Mubarak dan Indonesia semasa Soeharto penuh dengan rekayasa
dan intimidasi yang akhirnya memenangkan partai utama. Para aktivis di
Mesir dan Indonesia saat itu ditangkap dan kebebasan pers dan
berekspresi dibungkam.
Gelombang pemberontakan atas rezim
Mubarak dan Soeharto juga dimotori kaum muda, yang sudah tidak tahan
lagi diperintah oleh rezim otoriter yang tidak mampu mengatasi krisis
ekonomi dan korupsi yang kronis. Indonesia saat itu bermasalah dengan
krisis moneter di Asia, sedangkan Mesir tengah dirundung masalah naiknya
harga pangan dan komoditas pokok lainnya.
Harian
The Wall
Street Journal mencatat, kejatuhan kedua pemimpin itu tampak sama.
Kendati tetap keras kepala atas menguatnya gelombang demonstrasi di
jalanan, baik Mubarak dan Soeharto terpaksa melepas jabatan setelah
tidak lagi didesak oleh militer dan orang-orang kepercayaan
masing-masing. Proses alih kekuasaan di Mesir 2011 dan Indonesia 1998
tidak jauh beda.
Pada 1998, Soeharto menyerahkan kepemimpinan
kepada Wakil Presiden BJ Habibie. Di Mesir, Mubarak juga melakukan hal
yang sama kepada Wakil Presiden Omar Suleiman. Habibie dikenal sangat
dekat dengan Soeharto, begitu pula dengan Suleiman di Mesir, yang
sebelumnya sangat dipercaya oleh Mubarak sebagai kepala intelijen.
Kemarahan
rakyat di Indonesia 1998 dan Mesir 2011 berhasil menumbangkan rezim
yang tiran. Namun revolusi di Mesir dan Indonesia juga sama-sama tidak
didukung oleh kekuatan oposisi politik yang menonjol. Ini berbeda dengan
Revolusi di Iran pada 1979, saat Raja Reza Pahlavi digulingkan oleh
rakyat dan saat itu juga muncul tokoh karismatik Ayatollah Khomeini,
yang langsung ke panggung kekuasaan.
Kini patut ditunggu
apakah Mubarak sama beruntungnya dengan Soeharto, yaitu tetap berada di
Tanah Air sampai akhir hayat. Begitu menyerahkan kekuasaan kepada Wapres
Suleimen, Mubarak meninggalkan Ibukota Kairo ke kota Sharm el Sheikh,
yang menjadi lokasi kediaman pribadinya.
Saat lengser dari
kekuasaan pada 1998, Soeharto tetap tinggal di rumah pribadinya di
Jakarta hingga wafat pada 2008. Sedangkan nasib Mubarak kini masih belum
jelas, apakah bisa bertahan di Mesir atau dipaksa lari ke luar negeri,
seperti Zine Abidine Ben Ali dari Tunisia dan Ferdinand Marcos dari
Filipina. (umi)