Oleh: Al Andang L Binawan*
KOMPAS.com — Kalau orang Indonesia mengucapkan terima kasih, secara
eksplisit memang mengatakan bahwa dia telah menerima kasih, entah besar
entah kecil, dari rekan bicaranya.
Demikian pula kalau saya ucapkan terima kasih kepada Islam, secara
sadar saya sampaikan bahwa saya, sebagai non-Muslim, telah menerima
kasih dari Islam di tengah bangsa Indonesia ini.
Kasih itu lebih dari sekadar pemberian. Kasih itu menghidupkan
karena ada tiga unsur penting di dalamnya, yaitu penghargaan,
penerimaan, dan pengakuan. Penghargaan terkait dengan apresiasi terhadap
kelebihan seseorang. Penerimaan lebih terkait dengan kekurangan yang
ada. Sementara itu, pengakuan bukan sekadar recognition, melainkan
sebuah peng-aku-an, kesempatan untuk sungguh menjadi ”aku”, menjadi
pribadi dengan segala kelebihan dan kekurangannya.
Bisa dikatakan bahwa kalau dua unsur pertama berada dalam dimensi
ruang, unsur ketiga itu menempatkan dua unsur pertama dalam dimensi
waktu. Ada proses di dalamnya.
Kasih Islam
Warga Indonesia sudah sepantasnya berterima kasih kepada Islam.
Dalam pengalaman hidup di Indonesia ini, harus diakui bahwa kasih Islam
itu pulalah yang telah berperan besar membentuk bangsa ini. Ada banyak
alasan, tetapi dalam tulisan singkat ini, hanya beberapa hal yang bisa
disebutkan.
Alasan berterima kasih kepada Islam yang pertama tentu saja karena
dalam sejarah bangsa ini, Islam tampak menghargai atau mengapresiasi
peran elemen masyarakat lain dalam membangun negeri.
Islam menghargai kebhinekaan. Karya-karya sosial dari agama lain,
setidaknya yang dialami gereja Katolik, diberi tempat yang layak. Pun,
warga non-Muslim yang berpotensi sangat diapresiasi.
Kedua, Islam pun telah menunjukkan toleransi yang besar pada
keberagaman. Perlu diingat, toleransi bermakna menanggung kekurangan
orang lain. Ini sejajar dengan pengalaman diterimanya agama-agama lain
hidup berdampingan dengan Islam.
Meski dalam beberapa hal tidak sama dengan ajaran Islam, keberadaan
agama-agama lain diterima di Indonesia, negara dengan jumlah umat Muslim
terbesar di dunia.
Bahkan, Islam di Indonesia mau mengorbankan cita-cita menjadikan
negeri ini negeri Islam dengan menerima Pancasila. Selanjutnya, dalam
kehidupan sehari-hari pun tidak sedikit yang masih mau memberi ucapan
pada hari raya kami.
Pengalaman panjang hidup di tengah umat Muslim di Indonesia, dengan
penghargaan dan penerimaan itu, membuat kami yang bukan pemeluk Islam
sungguh merasa menjadi bagian dari Indonesia.
Sebagai umat Katolik, saya merasa tidak didiskriminasi dan mampu
mengaktualisasikan semboyan kami: seratus persen Katolik, seratus persen
Indonesia.
Kami sungguh menjadi Katolik dan sekaligus sungguh menjadi warga
Indonesia. (Tidak ada niat tersembunyi di balik semboyan itu untuk
seratus persen meng-katolik-kan Indonesia.) Itulah pengalaman kami
di-aku-i. Itu pulalah alasan ketiga kami berterima kasih kepada Islam di
Indonesia.
Memang, dalam proses berinteraksi selama ini, kadang terjadi salah
paham atau gesekan. Pengalaman itu terasa menyakitkan meski tetap bisa
dipandang sebagai sebuah risiko dari suatu proses pendewasaan bersama.
Kami, atau setidaknya saya, tetap berusaha mensyukurinya. Bagaimanapun,
kasih tidak selalu berasa manis.
Kasih yang fitri
Pengalaman nyata hidup di tengah umat Muslim di bumi Indonesia tadi,
setidaknya sampai hari ini, menjadi bukti bahwa pada dasarnya Islam,
seperti yang sering saya dengar, adalah rahmatan lil’alamin, rahmat
untuk semesta alam. Kalau kami merasa di-aku-i, itu karena kami merasa
sungguh hidup. Islam telah menjadi rahmat, menjadi rohima, sebagai kasih
yang menghidupkan.
Untuk perjalanan bangsa ke depan, tentu saja kami tetap berharap
bahwa jiwa Islam sebagai rahmatan lil’alamin tetap dapat diwujudkan
supaya bangsa yang sangat beragam ini tetap dapat hidup damai
berdampingan.
Memang, harus diakui, harapan ini disampaikan di tengah sedikit
kekhawatiran bahwa rahmat yang selama ini kami rasakan menjadi pudar.
Pernyataan Din Syamsuddin, Ketua Presidium Inter Religious Council
yang adalah juga Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bahwa kerukunan
beragama sekarang ini cenderung menurun terkait dengan penghalangan
oleh sebagian umat pada umat beragama lain dalam beribadat (Kompas,
28/8/2010) mencerminkan juga kekhawatiran kami.
Memang, pernyataan itu juga didasari oleh kekerasan yang dialami
oleh sebagian jemaat non-Muslim, yang sebagian terjadi atas nama Islam.
Karena itu, pada hari yang sangat istimewa bagi Islam ini, kami—selain
mengucapkan selamat Idul Fitri dan sekaligus mengucapkan banyak terima
kasih kepada Islam dan umatnya—tetap berharap bahwa jiwa Islam sebagai
agama yang memberi kehidupan tetap dapat terus diwujudkan, bukan hanya
untuk umatnya, melainkan juga untuk seluruh isi semesta alam.
Konkretnya, untuk Indonesia, wujud Islam sebagai rahmatan lil’alamin
yang kami harapkan adalah Islam seperti yang pernah kami alami, Islam
yang ramah. Dalam Islam yang penuh toleransi dan mau duduk bersama untuk
berunding, kami merasa dihargai, diterima, dan diakui.
Di situlah kami merasa hidup. Di situlah kami mengalami Islam
sebagai rahim kasih sayang. Semoga, selepas Idul Fitri, kasih Islam di
tengah bangsa ini bisa makin mewujud dan menghidupkan.
Selamat Idul Fitri! Berkah Allah selalu melimpah.
*Al Andang L Binawan, Pengajar Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara,
Jakarta